---

ᮠᮤᮙ᮪ᮕᮥᮔᮔ᮪ ᮝᮁᮌᮤ ᮎᮤᮃᮔ᮪ᮏᮥᮁ

ᮃᮒᮞ᮪ ᮄᮏᮤᮔ᮪ ᮃᮜᮣᮂ ᮞ᮪.ᮝ᮪.ᮒ᮪. |᮳| ᮕᮤᮤᮜᮁ ᮘᮥᮓᮚ ᮎᮤᮃᮔ᮪ᮏᮥᮁ ᮒᮨᮜᮂ ᮞᮂ ᮓᮤ ᮕᮨᮁᮓ ᮊᮔ᮪

ᮌᮥᮛᮤᮜᮕ᮪ (ᮞᮙ᮪ᮘᮜ᮪ ᮘᮝᮀ ᮊᮨᮛᮤᮤᮀ)

ᮞᮙ᮪ᮘᮜ᮪ ᮚᮀ ᮛᮞᮑ ᮞᮦᮔ᮪ᮞᮞᮤᮇᮔᮜ᮪!!!

ᮎᮤᮤᮜᮧᮊ᮪ ᮊᮢᮤᮞ᮪ᮕᮤᮤ ᮙᮧᮐᮛᮦᮜ ᮞᮤᮜᮚᮥᮀ

ᮎᮨᮙᮤᮜᮔ᮪ ᮒᮢᮓᮤᮤᮞᮤᮇᮔᮜ᮪ ᮒᮨᮁᮘᮛᮥᮊᮔ᮪ ᮘᮨᮁᮄᮞᮤ ᮊᮦᮏᮥ ᮙᮧᮐᮛᮦᮜ!!!

ᮊᮎᮀ ᮘᮝᮀ ᮞᮤᮜᮚᮥᮀ

ᮛᮨᮑᮂ ᮌᮥᮛᮂ ᮓᮔ᮪ ᮔᮤᮊ᮪ᮙᮒ᮪ ᮌᮧᮛᮦᮀ ᮊᮎᮀ ᮘᮝᮀ ᮠᮞ᮪ ᮎᮤᮃᮔ᮪ᮏᮥᮁ!

ᮅᮜᮦᮔ᮪ ᮄᮞᮤ ᮞᮤᮜᮨᮌᮤᮒ᮪

ᮞᮒᮥ ᮜᮌᮤ ᮎᮨᮙᮤᮜᮔ᮪ ᮠᮞ᮪ ᮎᮤᮃᮔ᮪ᮏᮥᮁ ᮒᮨᮁᮘᮛᮥᮊᮔ᮪ ᮅᮜᮦᮔ᮪ ᮄᮞᮤ ᮓᮨᮍᮔ᮪ ᮘᮨᮘᮨᮛᮕ ᮗᮛᮤᮃᮔ᮪ ᮄᮞᮤ!!!

ᮞᮊᮧᮜ ᮃᮊ᮪ᮞᮛ ᮞᮥᮔ᮪ᮓ ᮎᮤᮃᮔ᮪ᮏᮥᮁ

ᮝᮓᮂ ᮓᮤ ᮙᮦᮓᮤᮃ ᮞᮧᮞᮤᮃᮜ᮪ ᮚᮀ ᮘᮨᮁᮙᮤᮔᮒ᮪ ᮘᮨᮜᮏᮁ ᮙᮨᮔᮥᮜᮤᮞ᮪ ᮓᮔ᮪ ᮙᮨᮙ᮪ᮘᮎ ᮃᮊ᮪ᮞᮛ ᮞᮥᮔ᮪ᮓ

ᮕ᮪.ᮕ᮪.ᮞ᮪. ᮒᮕᮊ᮪ ᮈᮜᮀ ᮎᮤᮃᮔ᮪ᮏᮥᮁ;

ᮙᮨᮜᮨᮞ᮪ᮒᮛᮤᮤᮊᮔ᮪ ᮞᮨᮔᮤ ᮘᮥᮓᮚ ᮕᮨᮔ᮪ᮎᮊ᮪ ᮞᮤᮤᮜᮒ᮪ ᮙᮨᮜᮜᮥᮄ ᮕᮢᮦᮞ᮪ᮒᮞᮤ

Saturday, 29 April 2017

SYEKH HAJI ABDUL MUHYI PAMIJAHAN (leluhur Mama Gentur dan Aang Nuh)

 SYEKH HAJI ABDUL MUHYI PAMIJAHAN 
Leluhur Mama Gentur dan Aang Nuh dari Nasab Ayah
(1650-1730)

ABDUL MUHYI, Syeikh Haji (Mataram, Lombok, 1071 H/1650 M-Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat 1151 H/1730 M). Ulama tarekat Syattariah, penyebar agama Islam di Jawa Barat bagian selatan. Karena dipandang sebagai wali, makmnya di Pamijahan di keramatkan orang.

Abdul Muhyi datang dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi dibesarkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Pendidikan agama Islam pertama kali diterimanya dari ayahnya sendiri dan kemudian dari para ulama yang berada di Ampel. Dalam usia 19 tahun, ia berangkat ke Kuala, Aceh, untuk melanjutkan pendidikannya dan berguru pada Syeikh Adur Rauf Singkel, seorang ulama sufi dan guru tarekat Syattariah. Syeikh Abdur Rauf Singkel adalah ulama Aceh yang berupaya mendamaikan ajaran martabat alam tujuh -yang dikenal di Aceh sebagai paham wahdatul wujud atau wujudiyyah (panteisme dalam Islam)-dengan paham sunah. Meskipun begitu Syeikh Abdur Rauf Singkel tetap menolak paham wujudiyyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dan hamba. Ajaran inilah yang kemudian dibawa Syeikh Abdul Muhyi ke Jawa.

Masa studinya di Aceh dihabiskannya dalam tempo enam tahun (1090 H/1669 M-1096 H/1675 M). Setelah itu bersama teman-teman seperguruannya, ia dibawa oleh gurunya ke Baghdad dan kemudian ke Mekah untuk lebih memperdalam ilmu pengetahuan agama dan menunaikan ibadah haji. Setelah menunaikan ibadah haji, Syeikh Haji Abdul Muhyi kembali ke Ampel. Setelah menikah, ia meninggalkan Ampel dan mulai melakukan pengembaraan ke arah barat bersama isteri dan orang tuanya. Mereka kemudian tiba di Darma, termasuk daerah Kuningan, Jawa Barat. Atas permintaan masyarakat muslim setempat, ia menetap di sana selama tujuh tahun (1678-1685) untuk mendidik masyarakat dengan ajaran Islam. Setelah itu ia kembali mengembara dan sampai ke daerah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Ia mentap di Pameungpeuk slama 1 tahun (1685-1686) untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk yang ketika itu masih menganut agama Hindu. Pada tahun 1986 ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan di kampung Dukuh, di tepi Kali Cikangan. Beberapa hari setelah pemakaman ayahnya, ia melanjutkan pengembaraannya hingga ke daerah Batuwangi. Ia bermukim beberapa waktu di sana atas permintaan masyarakat. Setelah itu ia ke Lebaksiuh, tidak jauh dari Batuwangi. Lagi-lagi atas permintaan masyarakat ia bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690). Pada masa empat tahun itu ia berjasa mengislamkan penduduk yang sebelumnya menganut agama Hindu. Menurut cerita rakyat, keberhasilannya dalam melakukan dakwah Islam terutama karena kekeramatannya yang mampu mengalahkan aliran hitam. Di sini Syeikh Haji Abdul Muhyi mendirikan masjid tempat ia memberikan pengajian untuk mendidik para kader yang dapat membantunya menyebarkan agama Islam lebih jauh ke bagian selatan Jawa Barat. Setelah empat tahun menetap di Lebaksiuh, ia lebih memilih bermukim di dalam gua yang sekarang dikenal sebagai Gua Safar Wadi di Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Menurut salah satu tradisi lisan, kehadirannya di Gua Safar Wadi itu adalah atas undangan bupati Sukapura yang meminta bantuannya untuk menumpas aji-aji hitam Batara Karang di Pamijahan. Di sana terdapat sebuah gua tempat pertapaan orang-orang yang menuntut aji-aji hitam itu. Syeikh Haji Abdul Muhyi memenangkan pertarungan melawan orang-orang tersebut hingga ia dapat menguasai gua itu. Ia menjadikan gua itu sebagai tempat pemukiman bagi keluarga dan pengikutnya, di samping tempat ia memberikan pengajian agama dan mendidik kader-kader dakhwah Islam. Gua tersebut sangat sesuai baginya dan para pengikutnya untuk melakukan semadi menurut ajaran tarekat Syattariah. Sekarang gua tersebut banyak diziarahi orang sebagai tempat mendapatkan “berkah”. Syeikh Haji Abdul Muhyi juga bertindak sebagai guru agama Islam bagi keluarga bupati Sukapura, bupati Wiradadaha IV, R. Subamanggala.

Setelah sekian lama bermukim dan mendidik para santrinya di dalam gua, ia dan para pengikutnya berangkat menyebarkan agama Islam di kampung Bojong (sekitar 6 km dari gua, sekarang lebih dikenal sebagai kampung Bengkok) sambil sesekali kembali ke Gua Safar Wadi. Sekitar 2 km dari Bojong ia mendirikan perkampungan baru yang disebut kampung Safar Wadi. Di kampung itu ia mendirikan masjid (sekarang menjadi kompleks Masjid Agung Pamijahan) sebagai tempat beribadah dan pusat pendidikan Islam. Di samping masjid ia mendirikan rumah tinggalnya. Sementara itu, para pengikutnya aktif menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat bagian selatan. Melalui para pengikutnya, namanya terkenal ke berbagai penjuru jawa Barat.

Menurut tradisi lisan, Syeikh Maulana Mansur berulang kali datang ke Pamijahan untuk berdialog dengan Syeikh Haji Abdul Muhyi. Syeikh Maulana Mansur adalah putra Sultan Abdul Fattah Tirtayasa dari kesultanan Banten. Sultan Tirtayasa sendiri adalah keturunan Maulana Hasanuddin, sultan pertama kesultanan Banten yang juga putra dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, salah seorang Wali Songo.

Berita tentang ketinggian ilmunya itu sampai juga ke telinga sultan Mataram. Sultan kemudian mengundang Syeikh Haji Abdul Muhyi untuk menjadi guru bagi putra-putrinya di istana Mataram. Sultan Mataram Paku Buwono II (1727-1749) ketika itu bahkan menjanjikan akan memberi piagam yang memerdekakan daerah Pamijahan dan menjadikannya daerah “perdikan”, daerah yang dibebaskan dari pembayaran pajak. Undangan sultan Mataram itu tidak pernah dilaksanakannya, karena pada tahun 1151 H (1730 M) Syeikh Haji Abdul Muhyi meninggal dunia karena sakit di Pamijahan. Berdasarkan keputusan sultan Mataram itulah, oleh pemerintah kolonial Belanda, melalui keputusan residen Priangan, Pamijahan sejak tahun 1899 dijadikan daerah “pasidkah”, daerah yang dikuasai secara turun temurun dan bebas memungut zakat, pajak, dan pungutan lain untuk keperluan daerah itu sendiri.

Makam Syeikh Haji Abdul Muhyi yang terdapat di Pamijahan diurus dan dikuasai oleh keturunannya. Makamnya itu ramai diziarai orang sampai sekarang karena dikeramatkan. Sampai saat ini desa Pamijahan dipimpin oleh seorang khalifah, jabatan yang diwariskan secara turun-temurun, yang juga merangkap sebagai juru kunci makam dan mendapat penghasilan sedekah dari para peziarah.

Karya tulis Syeikh Haji Abdul Muhyi yang asli tidak ditemukan lagi. Akan tetapi ajarannya disalin oleh murid-muridnya, di antaranya oleh putra sulungnya sendiri, Syeikh Haji Muhyiddin yang menjadi tokoh tarekat Syattariah sepeninggal ayahnya. Syeikh Haji Muhyiddin menikah dengan seorang putri Cirebon dan lama menetap di Cirebon. Ajaran Syeikh Haji Abdul Muhyi versi Syeikh Haji Muhyiddin ini ditulis dengan huruf pegon (Arab Jawi) dengan menggunakan bahasa Jawa (baru) pesisir. Naskah versi Syeikh Haji Muhyiddin itu berjudul Martabat Kang Pitutu (Martabat Alam Tujuh) dan sekarang terdapat di museum Belanda, dengan nomor katalog LOr. 7465, LOr. 7527, dan LOr. 7705.

Ajaran “martabat alam tujuh” ini berawal dari ajaran tasawuf wahdatul wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Tidak begitu jelas kapan ajaran ini pertama kali masuk ke Indonesia. Yang jelas, sebelum Syeikh Haji Abdul Muhyi, beberapa ulama sufi Indonesia sudah ada yang menulis ajaran ini, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani (tokoh sufi, w. 1630), dan Abdur Rauf Singkel, dengan variasi masing-masing. Oleh karena itu sangat lemah untuk mengatakan bahwa karya Syeikh Haji Abdul Muhyi yang berjudul Martabat Kang Pitutu ini sebagai karya orsinilnya, tetapi besar kemungkinan berupa saduran dari karya yang sudah terdapat sebelumnya dengan penafsiran tertentu darinya.

Menurut ajaran “martabat alam tujuh”, seperti yang tertuang dalam Martabat kang Pitutu, wujud yang hakiki mempunyai tujuh martabat, yaitu (1) Ahadiyyah, hakikat sejati Allah Swt., (2) Wahdah, hakikat Muhammad Saw., (3) Wahidiyyah, hakikat Adam As., (4) alam arwah, hakikat nyawa, (5) alam misal, hakikat segala bentuk, (6) alam ajsam, hakikat tubuh, dan (7) alam insan, hakikat manusia. Kesemuanya bermuara pada yang satu, yaitu Ahadiyyah, Allah Swt. Dalam menjelaskan ketujuh martabat ini Syeikh Haji Abdul Muhyi pertama-tama menggarisbawahi perbedaan antara Tuhan dan hamba, agar -sesuai dengan ajaran Syeikh Abdur Rauf Singkel-orang tidak terjebak pada identiknya alam dengan Tuhan. Ia mengatakan bahwa wujud Tuhan itu qadim (azali dan abadi), sementara keadaan hamba adalah muhdas (baru). Dari tujuh martabat itu, yang qadim itu meliputi martabat Ahadiyyah, Wahdah, dan Wahidiyyah, semuanya merupakan martabat-martabat “keesaan” Allah Swt. yang tersembunyi dari pengetahuan manusia. Inilah yang disebut sebagai wujudullah. Empat martabat lainnya termasuk dalam apa yang disebut muhdas, yaitu martabat-martabat yang serba mungkin, yang baru terwujud setelah Allah Swt. memfirmankan “kun” (jadilah).

Selanjutnya melalui martabat tujuh itu Syeikh Haji Abdul Muhyi menjelaskan konsep insan kamil (manusia sempurna). Konsep ini merupakan tujuan pencapaian aktivitas sufi yang hanya bisa diraih dengan penyempurnaan martabat manusia agar sedekat-dekatnya “mirip” dengan Allah Swt.

Melalui usaha Syeikh Haji Muhyiddin, ajaran martabat tujuh yang dikembangkan Syeikh Abdul Muhyi tersebar luas di Jawa pada abad ke-18.***

(Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, cet-9, 2003, hal. 5-8.)





advertising area:


klik detailnya:









Share:

Friday, 28 April 2017

SYEKH QURO (pendiri pesantren pertama di Tanah Jawa)

Sejarah Syekh Quro 
(Syekh Mursyahadatillah atau Syekh Hasanudin)
Pendiri Pesantren Pertama di Tanah Jawa dan Guru Ngaji Nyi Subanglarang/isteri Prabu Siliwangi (Raden Pamanah Rasa))

"maaf apabila sajian informasinya masih banyak kekurangan atau kurang lengkap, kami tunggu informasi tambahan dari pembaca setia agar menjadi lebih lengkap lagi"

SYEKH QURO, siapa yang tidak kenal nama yang satu ini, khususnya diwilayah Karawang. Bahkan nama beliau ini juga dikenal dikawasan jawa barat. Dalam Sejarah Jawa Barat dan Betawi nama yang satu ini cukup sering diulas, Ridwan Saidi, sejarawan betawi dalam bukunya yang berjudul "Babad Tanah Betawi, hal 109, penerbit gria media prima, mengangkat nama beliau ini sebagai penyebar agama islam pertama di betawi. Ridwan sangat fanatik dengan sosok Syekh Quro ini, beberapa kali dalam diskusi sejarah betawi, dia selalu bangga dengan sosok Syekh Quro, namun anehnya dia tidak bangga dengan sosok Fatahillah (yang dia anggap membunuh 3000 orang betawi saat membebaskan sunda kelapa). Dalam buku yang saya peroleh dari dinas museum banten lama yang ditulis dengan gaya ilmiyah yang berjudul Riwayat Kesultanan Banten, halaman 5 tahun 2006 oleh Tubagus Hafiz Rafiudin, sosok Syekh Quro bahkan ditulis dengan jelas sebagai guru besar Agama Islam Di Champa. Pada halaman awal itu nama Syekh Quro langsung tertera sebagai guru besar dan orang yang berpengaruh pada tokoh tokoh atau raja/sultan pada kerajaan Pajajaran, kesultanan Cirebon maupun kesultanan Banten kelak.

Bagi orang Cirebon, Indramayu dan juga Banten, nama yang satu ini juga cukup mendapat perhatian, karena sepak terjang dakwahnya yang dapat dikatakan sukses besar. Dakwahnya damai, santun dan cerdik. Beliau berdakwah dengan kemampuan ilmu alqur'annya. Ulama besar yang bergelar Syekh Qurotul’ain ini ternyata nama aslinya adalah Syekh Mursyahadatillah atau Syekh Hasanudin. Beliau adalah seorang yang arif dan bijaksana dan termasuk seorang ulama yang hafidz Al-qur’an serta ahli Qiro’at yang sangat merdu suaranya. Syekh Quro adalah putra ulama besar Mekkah, penyebar agama Islam di negeri Campa (Kamboja) yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang ternyata masih merupakan keluarga besar Azmatkhan, karena ayah Syekh Yusuf Siddiq ternyata Sayyid Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro. Sayyid Yusuf Siddiq sendiri ibunya adalah Puteri Linang Cahaya binti Raja Sang Tawal/ Sultan Baqi Syah/ Sultan Baqiuddin Syah (Malaysia). Putri Linang cahaya ini dalam kitab Ensiklopedia Nasab Al Husaini dan juga situs Madawis telah melahirkan 3 anak, yaitu: Pangeran Pebahar, Fadhal (Sunan Lembayung), Sunan Kramasari (Sayyid Sembahan Dewa Agung), Syekh Yusuf Shiddiq. Ibu dari Sayyid Yusuf Siddiq ini adalah istri ke 3 dari Sayyid Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro. Jadi Syekh Quro ini adalah cucu dari Sayyid Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro, artinya beliau Syekh Quro adalah keluarga besar Walisongo.

Adapun nasab Syekh Quro berdasarkan kitab nasab yang disusun Oleh Al Allamah Sayyid Bahruddin Azmatkhan Al Hafiz dan Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan (TheGrand-Mufti Kesultanan Palembang Darussalam), penerbit Madawis, Tahun 2011 adalah :

1. Muhammad Rasulullah SAW
2. Fatimah Az-zahra
3. Husein As-shibti
4. Ali Zaenal Abidin
5. Muhammad Al-Baqir
6. Jakfar As-Shodiq
7. Ali Al-Uraidhi
8. Muhammad An-Naqib
9. Isa Ar-Rumi
10. Ahmad Al-Muhajir
11. Ubaidhillah
12. Alwi Al Awwal
13. Muhammad Shohibus Souma'ah
14. Alwi Atsani
15. Ali Kholi' Qosam
16. Muhammad Shohib Marbat
17. Alwi Ammul Faqih
18. Abdul Malik Azmatkhan
19. Abdullah Amir Khan
20. Sultan Ahmad Syah Jalaluddin
21. Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro
22. Syekh Yusuf Siddiq
23. Syekh Hasanuddin/Maulana Hasanuddin/Syekh Quro Azmatkhan

Pada waktu kedatangan beliau ditanah Jawa, terutama kawasan Jawa bagian barat (saat itu belum ada istilah barat atau timur), wilayah Jawa Bagian Barat masih dibawah kekuasaan Negeri Pajajaran yang saat itu menganut agama Hindu, dengan seorang Raja yang bernama Prabu Anggalarang, Kekuasaan raja Pajajaran tersebut meliputi wilayah Karawang dan juga sekitarnya, sebelum datang ke tanah Karawang sekitar tahun 1409 Masehi, Syekh Quro menyebarkan Agama islam di negeri Campa, dari sini beliau lalu ke daerah Malaka dan dilanjutkan ke daerah Martasinga Pasambangan dan Japura akhirnya sampai ke Pelabuhan Muara Jati Cirebon, disini beliau disambut dengan baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati, yang masih keturunan Prabu Wastu Kencana dan juga oleh masyarakat sekitar, mereka sangat tertarik dengan ajaran yang disampaikan oleh Syekh Quro yang di sebut ajaran agama Islam.

Kedatangan awal Syekh Quro tentu tidak mengherankan jika ditinjau dari sisi ilmu nasab dan sejarah, karena sebelum kedatangan beliau, keluarga besar AZMATKHAN atau walisongo sudah periode awal sudah mulai bergerak, dimulai dari Sayyid Husein Jamaluddin, kemudian anak anaknya dan dilanjutkan dengan keturunanya. Jika ditinjau dari nasab dan periodesasi walisongo, beliau ini satu angkatan dengan Maulana Malik Ibrahim dan walisongo angkatan angkatan pertama. Sayangnya memang, dibandingkan dengan walisongo yang lain, sosok beliau ini jarang dikaji dalam bentuk tulisan sejarah atau ilmiah, padahal jasa beliau dalam menyebarkan agama islam itu sangat besar. Jasa beliau ini tidak boleh dianggap kecil, karena beliau inilah yang merupakan pelopor penyebaran agama islam di Jawa Barat, sebelum eranya Sunan Gunung Jati.

Sebelum kedatangan Syekh Quro, dapat dikatakan penyebaran islam belum sporadis, namun sejak kedatangan Syekh Quro ini, Islam mulai mendapat tempat dihati rakyat. namun demikian, penyebaran agama Islam yang disampaikan oleh syekh Quro di tanah Jawa bagian barat ini rupanya sangat mencemaskan Raja Pajaran Prabu Anggalarang, sehingga pada waktu itu penyebaran agama Islam dengan titahnya harus segera dihentikan. Perintah dari Raja Pajajaran tersebut dipatuhi oleh Syeh Quro yang memang pendekatan dakwahnya sangat persuasif. Namun kepada utusan dari Raja Pajaran yang mendatangi Syekh Quro, Syekh Quro mengingatkan kepada utusan tersebut untuk kemudian disampaikan kepada raja pajajaran, "meskipun ajaran agama Islam dihentikan, namun penyebarannya kelak akan meluas hebat, dan justru dari keturunan Prabu Anggalarang nanti akan ada yang menjadi seorang Waliyullah".

Beberapa saat kemudian beliau pamit pada Ki Gedeng Tapa untuk kembali ke negeri Campa, di waktu itu pula Ki Gedeng Tapa menitipkan putrinya yang bernama Nyi Mas Subang Larang, untuk ikut dan berguru pada Syekh Quro. Tak lama kemudian Syekh Quro datang kembali ke negeri Pajajaran kembali beserta Rombongan para santrinya, dengan menggunakan Perahu dagang sebagian ahli sejarah mengatakan beliau ikut bersama rombongan titian muhibah laksamana cheng ho (nanti akan dibahas dibawah ini). Dalam rombongan yang bersama beliau diantaranya adalah, Nyi Mas Subang Larang, Syekh Abdul Rahman. Syekh Maulana Madzkur dan Syekh Abdilah Dargom.

Setelah Rombongan Syekh Quro melewati Laut Jawa dan Sunda Kelapa dan masuk Kali Citarum yang waktu itu di Kali tersebut ramai dipakai Keluar masuk para pedagang ke Pajajaran, akhirnya rombongan beliau singgah di Pelabuhan Karawang.

Menurut Buku Sejarah Jawa Barat Oleh Yosep Iskandar, tahun 1997 Halaman 250, Syekh Quro masuk Karawang sekitar 1416 M. Syekh Quro masuk bersama rombongan besar titian muhibah Laksamana Cheng Ho. Armada Cheng Ho sendiri berangkat atas perintah Kaisar Cheng-Tu atau Kaisar Yunglo, Kaisar Dinasti Ming yang ketiga. Armada laut itu berjumlah 63 kapal, dengan prajurit lautnya sebanyak 27.800 orang termasuk Syekh Quro dan rombongannya. Oleh Karena Syekh Quro atau Maulana Hasanuddin atau Syekh Hasanuddin bermaksud menyebarkan agama islam, Laksamana Cheng Ho mengizinkan, apalagi Cheng Ho dan Syekh Quro sama-sama ahlul bait. Dalam Pelayarannya menuju Majapahit Armada Cheng Ho singgah disebuah daerah yang bernama Pura, nah saat di Pura inilah rombongan besar Syekh quro turun, sedangkan armada cheng ho menuju muara jati cirebon dan beristirahat seminggu lamanya untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Jawa timur.

Syekh Hasanuddin tinggal beberapa lama di Pura Karawang dibawah kegiatan Pemerintahan dan kewenangan Jabatan Dalem (masih bawahan pajajaran). Karena rombongan Syekh quro tersebut, sangat menjunjung tinggi peraturan kota Pelabuhan, aparat setempat sangat menghormati dan memberikan izin untuk mendirikan Mushola ( 1418 Masehi) sebagai sarana Ibadah sekaligus tempat tinggal mereka. Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh Quro terus menyampaikan Dakwah-dakwahnya di Mushola yang dibangunnya (sekarang Mesjid Agung Karawang). Dalam berdakwah ajaran Syekh Quro mudah dipahami dan mudah diamalkan, ia beserta santrinya juga memberikan contoh pengajian Al-Qur’an menjadi daya tarik tersendiri di sekitar karawang.

Di tempat ini pula Syekh Quro menikah dengan Ratna Sondari, putri penguasa daerah Karawang yaitu bernama Ki Gedeng Karawang, dari pernikahannya beliau memperoleh putra yang dikenal dengan nama Syekh Ahmad, yang selanjutnya menjadi penghulu (na'ib pertama di Karawang. Cucunya Syekh Ahmad dari putrinya Nyi Mas Kedaton bernama Musanudin yang kelak menjadi lebai di Cirebon dan memimpin tajug sang cipta rasa pada masa pemerintahan susunan jati

Ulama besar ini sering mengumandangkan suara Qorinya yang merdu bersama murid-muridnya, Nyi Subang Larang, Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur dan santri lainnya seperti , Syekh Abdiulah Dargom alias Darugem alias Bentong bin Jabir Modafah alias Ayekh Maghribi keturunan dari sahabat nabi (sayidina Usman bin Affan).

Berita kedatangan kembali Syekh Quro, rupanya terdengar oleh Prabu Anggalarang yang pernah melarang penyebaran agama islam di tanah Jawa, sehingga Prabu Anggalarang mengirim utusannya untuk menutup kembali pesantren Syekh Quro. Rupanya ketidak sukaan Raja ini belum pupus terhadap ajaran Islam. Utusan yang datang kali ini ketempat Syekh Quro adalah Putra Mahkota Kerajaan Pajajaran sendiri yang bernama Raden Pamanah Rasa (kelak bernama Prabu Siliwangi, raja pajajaran yang legendaris). Sesampainya di pesantren tersebut sang putra putra mahkota tersebut justru hatinya tertambat oleh alunan suara yang merdu yang dikumandangkan oleh Nyi Subang Larang, ”dalam mengalunkan suara pengajian Al-Qur’an,”. Nyai Subang Larang bin Ki Gedeng Tapa adalah Alumnus pertama Pesantren Quro Dalem Karawang, pesantren Pertama Di Jawa Barat yang didirikan oleh Syekh Quro tahun 1416 Masehi. Silsilah Nyai Subang Larang sendiri masih merupakan kerabat dekat kerajaan pajajaran, sehingga mau tidak mau penguasa pajajaran juga merasa serba salah menyikapi adanya pesantren ini, apalagi dalam berdakwah pondok pesantren ini tidak melakukan kekerasan, pendekatan dakwah pesantren adalah persuasif, damai, santun dan cerdas.

Prabu Pamanah Rasa akhirnya mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut. Atas kehendak yang Maha Kuasa Prabu Pamanah Rasa menaruh perhatian khususnya pada Nyi Subang Larang yang cantik dan merdu suaranya, akhirnya Prabu Pamanah Rasa melamar dan ingin mempersunting Nyi Subang Larang sebagai permaisurinya. Pinangan tersebut diterima tapi dengan syarat mas kawinnya yaitu Lintang Kerti Jejer Seratus, yang di maksud itu adalah simbol dari Tasbeh yang merupakan alat untuk berwirid. Pernikahan ini membuktikan jika beliau Prabu Pamanah Rasa adalah Islam. Tidak mungkin rasanya tokoh sekelas Syekh Quro akan mudah menikahkan Nyai Subang Larang sembarangan.

Selain itu Nyi Subang Larang mengajukan syarat lain yaitu, agar kelak anak-anak yang lahir dari mereka harus menjadi Raja. Semua permohonan Nyi Subang Larang disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa. Atas petunjuk Syekh Quro, Prabu Pamanah Rasa segera pergi ke Mekkah.

Di tanah suci Mekkah, Prabu Pamanah Rasa disambut oleh seorang kakek penyamaran dari Syekh Maulana Jafar Sidik. Prabu Pamanah Rasa merasa keget, ketika namanya di ketahui oleh seorang kakek. Dan Kekek itu, bersedia membantu untuk mencarikan Lintang Kerti Jejer Seratus dengan syarat harus mengucapkan Dua Kalimah Syahadat. Sang Prabu Pamanah Rasa denga tulus dan ikhlas mengucapkan Dua Kalimah Syahadat yang makna pengakuan pada Allah SWT sabagai satu-satunya Tuhan yang harus disembah dan Muhammad adalah utusannya.

Semenjak itulah, Prabu Pamanah Rasa masuk agama Islam dan menerima Lintang Kerti Jejer Seratus atau Tasbeh, mulai dari itu Prabu Pamanah Rasa diberi ajaran tentang agama islam yang sebenarnya. Prabu Pamanah Rasa segera kembali ke Kraton Pajajaran untuk melangsungkan pernikahannya dengan Nyi Subang Larang. Waktu terus berjalan maka pada tahun 1422 M pernikahan di langsungkan di Pesantren Syekh Quro dan dipimpin langsung oleh Syekh Quro. Setelah menikah Prabu Pamanah Rasa dan dinobatkan sebagai Raja Pakuan Pajajaran dengan gelar Prabu Siliwangi.

Hasil dari pernikahan tersebut mereka dikarunai 3 anak yaitu:

1.Raden Walangsungsang ( 1423 Masehi)
2.Nyi Mas Rara Santang ( 1426 Masehi)
3.Raja Sangara ( 1428 Masehi).

Setelah melewati usia remaja Raden Walangsunsang bersama adiknya Nyi Mas Rara Santang pergi meninggalkan Pakuan Pajajaran dan mendapat bimbingan dari ulama besar Syekh Nur Jati Azmatkhan di Perguruan Islam Gunung Jati Cirebon.

Setelah kakak beradik menunaikan ibadah Haji, maka Raden Walang Sungsang
Menjadi Pangeran Cakra Buana dengan sebutan Mbah Kuwu Sangkan dengan beristerikan Nyi Mas Endang Geulis Putri Pandita Ajar Sakti Danuwarsih. Sedangkan Nyi Mas Rara Santang waktu pergi ke naik haji ke Mekkah diperisteri oleh Abdullah Umdatuddin (ada yang mengatakan Sultan Mesir, kemungkinan besar mesir adalah tempat belajar atau transit dakwah Sayyid Abdullah Umdatuddin, karena pada era itu tidak ada nama Syarif Abdullah dalam peta pemimpin mesir) , sedangkan Raja Sangara menyebarkan agama islam di tatar selatan dengan sebutan Prabu Kian Santang (Sunan Rohmat), wafat dan dimakamkan di Godog Suci Garut. Nyi Mas Rara Santang setalah menikah dengan Sayyid Abdullah Umdatuddin/Sultan Champa/Maulana Hud, Namanya diganti menjadi Syarifah Mudaim, dari hasil pernikahannya dikaruniai dua orang putra, masing-masing bernama Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Abdullah Umdatuddin sendiri memiliki beberapa istri, salah satunya adalah Syarifah Zaenab/Putri Champa binti Ibrahim Zaenuddin Al Akbar Asmorokondi. Dari Syarifah Zaenab lahir Raden Fattah Azmatkhan/Sultan Demak 1, artinya antara Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah satu bapak beda ibu.

Adapun anak ke 3 dari Prabu Siliwangi yang bernama Raja Sengara kelak bernama Kian Santang yang salah satu keturunannya adalah KH ABDULLAH BIN NUH (ulama besar Indonesia). Kian Santang mengikuti jejak kakak kakaknya untuk menjadi pendakwah, namanya menjadi legenda dibumi jawa barat. Kisahnya cukup banyak, baik itu fakta ataupun mitos. Kian Santang terus bergerak kearah Jawa Barat untuk mengislamkan penduduk penduduk yang masih beragama hindu. Ayahnya sendiri yaitu Prabu Pamanah Rasa atau Prabu Siliwangi masih sering menjadi perdebatan tentang agama yang dianut, apakah ia islam atau hindu. Memang pasca pernikahan beliau dengan Nyai Subang Larang, Prabu Siliwangi kembali ke kerajaannya dimana kondisinya sangat hindu sentris, sehingga keberadaan beliau bisa saja dipengaruhi kembali ajaran lamanya, apalagi intrik intrik dalam kerajaan sangat kuat. istri dan anak-anak Prabu Siliwangi sendiri cukup banyak dan rata rata agama mereka adalah hindu, sehingga boleh jadi mereka juga bisa memberikan pengaruh besar pada keimanan beliau, sebaliknya ketiga anaknya yang lahir dari Nyai Subang Larang terselamatkan akidahnya karena berada pada pendidikan sang ibu yang merupakan jebolan pertama pesantren Quro Dalem Karawang. Ketiga anak beliau dari Nyai Subang Larang ini rupanya tidak kerasan di Kraton Pajajaran dan mereka lebih memilih hidup dengan ibu dan santri santri pesantren Quro. Yang juga harus dikritisi, menurut saya tidak benar jika Kian Santang mengejar ngejar ayahnya untuk masuk islam, apakah memang demikian??? apakah islam mengarjakan paksaan? saya rasa tidak, sebagai orang orang yang dididik oleh keluarga besar walisongo, saya fikir tidak mungkin Kian Santang memaksa ayahnya. cerita darimana ini??? apakah tidak malah merendahkan Kian Santang sebagai seorang pendakwah???. Kita tidak tahu masalah keimanan Prabu Siliwangi diakhir hidupnya. Namun fakta ia menikah secara islam memang benar, karena ia menikah disaksikan Syekh Quro dan juga para Santri Syekh Quro, Adapun bila dikemudia hari di kembali keagama lamanya, wallahu a'lam...hanya Allah yang tahu Jawaban itu semua......

Disadur dari tulisan: Sayyid Iwan Mahmoed Al-Fattah Azmatkhan

SUMBER :

1. ENSIKLOPEDIA NASAB ALHUSAINI SELURUH DUNIA, OLEH AL ALLAMAH SAYYID BAHRUDDIN AZMATKHAN AL HAFIZH & SAYYID SHOHIBUL FAROJI AZMATKHAN AL HAFIZH (THEGRAND-MUFTI KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM), PENERBIT MADAWIS 2011.
2. SEJARAH JAWA BARAT, OLEH YOSEF ISKANDAR, PENERBIT CV GEGER SUNTEN, BANDUNG , 1997.
3. BABAD TANAH BETAWI, RIDWAN SAIDI, PENERBIT GRIA MEDIA, JAKARTA, 2002.
4. RIWAYAT KESULTANAN BANTEN, TUBAGUS HAFIDZ RAFIUDIN, BANTEN, 2006.
5. CHENG HO-MISTERI PERJALANAN MUHIBAH DI NUSANTARA, PROF. KONG YUANZHI, PUSTAKA OBOR, JAKARTA, 2011
2. DARI SITUS/WEBSITE PON PES RAUDATUL IRFAN (PONDOK PESANTREN DI KARAWANG YANG DIDIRIKAN OLEH KH MEMED TURMUDZI BIN KH ZARKASI -(MURID KH TB AHMAD BAKRI (MAMA SEMPUR).



advertising area:


klik detailnya:
OTAJI (Oseng Tuna Asap Jeng Intan)











Share:

MAMA CIJERAH (salah satu murid MAMA GENTUR)

Sekilas Biografi MAMA CIJERAH
K.H. Muhammad Syafi'i


"kami berusaha mencari dari berbagai sumber untuk lebih mengetahui tempat dan tanggal lahirnya Mama Cijerah namun belum di dapatkan. Kami mohon maaf bila penyajian ini masuk banyak kekurangan dan apabila pembaca setia KOKI mempunyai informasi tambahan dengan senang hati akan kami terima."

NASABNYA :

K.H.  Muhammad Syafi`i ( Mama Eyang Cijerah ) bin K.H.Muhammad Amin ( Mama Eyang Pasantren )  bin Ta`zimuddin bin Zainal A`rif ( Eyang Agung Mahmud ) bin Asmaddin bin Shommaddin bin Eyang Dalem Bojong bin Syekh Abdul Muhyi Safarwadi Pamijahan Tasikmalaya Rhm. Binti Ratu Galuh ---- dan dari ibunya ratu galuh bersambung nasabnya ke Baginda Rasulallah Saw.


Berikut Silsilah Keturunan Mama Eyang Cijerah
Dari Ibu:
1.  Nabi Muhammad Saw
2.  Sayyidina Ali karroma Allahu wajhahu dan Fatimati Azzahro’
3. Sayidina Husein As.
4. Sayyidina Ali Zaenal Abidin Ra.
5. Muhammad Al Baqir
6. Ja'far Ashodiq
7. Ali AI'Aridhi
8. Muhammad
9.Isa Albasyari
10. Ahmad Al Muhajir
11. Ubaidillah
12. 'Uluwi
13. Ali Kholi'i Qosim
14. Muhammmad Shohibul Murobath
15.‘Uluwi
16. Abdul Malik
17. Abdullah Khona
18. Imam Ahmad Syah
19.Jamaludin Akbar
20.Asmar Kandi Gisik Karjo Tuban
21.Ishak Makdhum
22 Muhammad Ainul Yaqin
23. Sunan Giri Laya
24. Wira Candera
25. Kentol Sumbirana
26. Rd. Ajeng Tanganziah
27. Waliyullah Syeikh Haji Abdul Muhyi Pamijahan
28. Eyang Dalem Bojong
29. Eyang Shomaddin
30. Eyang Asmaddin
31. Eyang Zainal Arifin ( Eyang Agung Mahmud Bandung )
32. Eyang Ta`zhimuddin
33. Eyang Pasantren ( K.H.Muhammad Amin )
34. Mama Eyang Cijerah ( K.H. Muhammad Syafi`i )

Dari ayah:

1.   Nabi Adam As.
2.   Nabi Syis As.
3.   Anwar ( Nur cahya )
4.   Sangyang Nurasa
5.   Sangyang Wenang
6.   Sangyang Tunggal
7.   Sangyang Manikmaya
8.   Brahma
9.   Bramasada
10. Bramasatapa
11. Parikenan
12. Manumayasa
13. Sekutrem
14. Sakri
15. Palasara
16. Abiyasa
17. Pandu Dewanata
18. Arjuna
19. Abimanyu
20. Parikesit
21. Yudayana
22. Yudayaka
23. Jaya Amijaya
24. Kendrayana
25. Sumawicitra
26. Citrasoma
27. Pancadriya
28. Prabu Suwela
29. Sri Mahapunggung
30. Resi Kandihawan
31. Resi Gentayu
32. Lembu Amiluhur
33. Panji Asmarabangun
34. Rawisrengga
35. Prabu Lelea ( maha raja adi mulya )
36. Prabu Ciung Wanara
37. Sri Ratu Dewi Purbasari
38. Prabu Lingga Hyang
39. Prabu Lingga Wesi
40. Prabu Susuk Tunggal
41. Prabu Banyak Larang
42. Prabu Banyak Wangi / Munding sari I
43. ( a ) Prabu Mundingkawati / Prabu Lingga Buana
             / Munding wangi (Raja yang tewas di Bubat)
      ( b ) Prabu boros ngora / Buni sora suradipati
              / Prabu Kuda lelean berputra : Ki Gedeng Kasmaya
44. Prabu Wastu Kencana / Prabu Niskala wastu kancana
      / Prabu Siliwangi I
45. Prabu Anggalarang / Prabu Dewata Niskala /
      Jaka Suruh ( Raja Galuh / Kawali )  
46. Prabu Siliwangi II / Prabu Jaya dewata
      / Raden Pamanah rasa / Sri Baduga Maha Raja
47. Ratu Galuh
48. Ratu Puhun
49. Kuda Lanjar
50. Mudik Cikawung Ading
51. Entol Penengah
52. Sembah Lebe Warto Kusumah
53. Syekh Abdul Muhyi Pamijahan
54. Eyang Dalem Bojong
55. Eyang Shomaddin
56. Eyang Asmaddin
57. Eyang Zainal Arifin ( Eyang Agung Mahmud Bandung )
58. Eyang Ta`zhimuddin
59. Eyang Pasantren ( K.H.Muhammad Amin )

60. Mama Eyang Cijerah ( K.H. Muhammad Syafi`i )


PARA GURUNYA :

1.    Ayahnya sendiri yakni Mama Eyang Pesantren ( K.H.Muhammad Amin )
2.    Mama Ajengan Kaler K.H. Ahmad Syatiby bin Sa`id Gentur Cianjur
3.    Mama Ajengan Kidul K.H. Muhammad Qurthuby  Gentur Cianjur
4.    Dan Ulama Lainnya yang belum diketahui.

TEMAN SEPERJUANGANNYA DI PONDOK PESANTREN GENTUR CIANJUR :

1. Mama Sempur ( K.H.Tubagus Ahmad Bakri bin K.H.Tubagus Sida )
2. Dan Ulama Lainnya yang belum diketahui.

PARA MURIDNYA:

1.    Mama Aang Enuh ( K.H. Abdul Haqq Nuh bin Mama Ahmad Syatiby bin Sa`id ) Gentur
2.    Mama Sindangsari  ( Al-Marhum K.H.Muhammad Thaha bin K.H.Muhammad shawi )
3.    K.H. Ahmad Thaha bin K.H.Hasan Mustawi  Bojong Mahmud
4.    Mama Karawang ( Al-Marhum  K.H. Obay Hasan Bashry )  karawang
5.    Ir. Soekarno Hatta yakni Presiden Republik Indonesia pertama
6.    Mama Cibuntu ( Al-Marhum K.H. Marhum ) Ponpes Miftahul Jawamie Al-Lathifiyyah
       Jl.Soekarna hatta   Gang Aki Padma
7.    Mama Cikungkurak ( Al-Marhum K.H.Salim ) Cikungkurak
8.    Mama Singaparna ( Almarhum  Agan Aon K.H.Syujai ) Singaparna - Tasikmalaya
9.    Mama Cibuntu ( Al-Marhum K.H. Tafsir ) Cibuntu Bandung
10.  Mama Cangkorah ( Al-marhum K.H. Siradj ) Cangkorah Batujajar  Ponpes Al-Bidayah
11.  Mama Gelar ( Al-Marhum K.H.Abdush Shomad  ) Gelar cianjur
12.  Mama babakan tifar ( Al-marhum K.H.Abdullah Mahfuzh ) Ponpes Babakan Tifar sukabumi
13.  Mama Nakhrowi tanah baru bogor
14.  Mama Burbalinggo – ponpes burbalinggo jawa timur
15.  Dan yang lainnya yang belum diketahui.


SEBAGIAN KARAMAH NYA :

bersumber dari Kang H.Muhammad Aby Sufyan , Katanya :" Guru kami yakni K.H.Muhammad Thaha ( Mama Sindang sari ) bin K.H. Muhammad Shawi ( Mama Ujung berung ) telah berkata :” sehari sebelum belanda mau mengadakan penyerangan ke pesantren Mama Eyang Cijerah, mama eyang cijerah  sudah mengetahui dengan bathinnya ( firasahnya ) bahwa akan adanya penyerangan belanda ke pesantrennya , dan benarlah Firosahnya itu, yakni pada hari esoknya, pada waktu pengajian maka berdatanganlah tentara belanda menyerang pesantren Mama Eyang Cijerah, Mama Eyang Cijerahpun berkata kepada Murid-muridnya :” Diamlah....! ada tentara belanda ! maka murid – muridnya pun berdiam diri......setelah itu masuklah tentara belanda mengobrak- abrik pesantren mama eyang cijerah akan tetapi tidak ada seorang manusia pun di dalam pesantrennya itu, yang ada dan yang dilihat tentara belanda pada waktu itu hanyalah kera – kera, maka tentara belandapun pulang kembali....

dan  bersumber dari Kang H.Muhammad Aby Sufyan pula, Katanya :" Guru kami yakni K.H.Muhammad Thaha ( Mama Sindang sari ) bin K.H. Muhammad Shawi ( Mama Ujung berung ) telah berkata :”
suatu hari masuklah seekor kerbau kedalam embeul ( yakni tanah basah yang kental yang suka menyerap perkara apa saja kedalamnya sehingga dengan pelantara itu embeul dapat menimbulkan kematian  ), maka datanglah mama eyang cijerah menghampiri seekor kerbau tersebut dan mengangkat itu kerbau dengan tongkat ( A`sho ) nya, maka seketika itu kerbau yang berada di dalam embeul tersebut terbang keatas dan selamat dengan izin Allah Swt.


dan  bersumber dari Kang H.Muhammad Aby Sufyan juga, Katanya :" Guru kami yakni K.H.Muhammad Thaha ( Mama Sindang sari ) bin K.H. Muhammad Shawi ( Mama Ujung berung ) telah berkata :”

pada waktu itu K.H.Muhammad Thaha ( Mama Sindang sari ) diajak silarurahmi oleh mama eyang cijerah ke suatu tempat, maka berangkatlah dengan menaiki andong ( delman ) kemudian ditengah jalan mama eyang cijerah menyuruh kusir andong untuk melewati tempat begal ( perampok ) yang terkenal oleh orang-orang pada zaman itu, maka kusir andongpun berkata :” mama eyang, saya tidak berani melewati jalan itu karena jalan itu banyak perampoknya, maka mama eyang cijerah pun menjawab : Biarlah, paling juga pingin seikat pisang. Maka kusir andong tersebut terpaksa mengikuti keinginan mama eyang cijerah, setelah sampai jalan tersebut, maka benarlah apa yang dikatakan kusir andong tersebut, ditengah jalan andong tersebut dihalangi oleh perampok-perampok dan perampok tersebut menyuruh menurunkan semua barang bawaan...maka mama eyang cijerahpun berkata kepada muridnya yakni K.H.Muhammad Thaha ( Mama Sindang sari ), katanya :” jang.....kasih perampok itu seikat pisang ! maka dikasihlah para perampok itu seikat pisang....tidak lama kemudian maka para perampok itu menyuruh jalan kembali............

Dan masih banyak karamah lainnya...

PERKATAAN-PERKATANNYA :

1.    ELMU SIAR DUNYA TUNGTUT USAHA JEUNG USOLLI ( Artinya carilah ilmu tiap waktu, dan berusahalah dengan dicicil / sedikit-sedikit serta jangan lupa…. dirikanlah……… shalat !
2.    Didalam berusaha Manusia itu terdiri dari 3 unsur : 1. Kulit, 2. Daging dan 3. Tulang, Kulit artinya Kuli ( Buburuh / Bekerja dari orang lain ), Daging artinya Dagang ( Berjualan  / Wiraswasta ) dan Tulang artinya Tani ( bertani / berkebun ). Maka carilah kecocokan mu dari 3 unsur tersebut , janganlah menjadi seorang ulama yang Thama` ( selalu mengharapkan pemberian orang lain ) karena thama` hukumnya haram.
3.    Kaya itu boleh asal jangan terpikir dalam akal dan terbesit dalam hati.

SANAD GURU NYA :

Mama Cijerah belajar Fiqih dari  leluhurnya urutan ke - 4 yakni Syekh Abdul Muhyi Pamijahan Rhm., dan urutan ke- 27 dari Rasulallah Saw. Yakni dengan uraian sanad :

1. Nabi Muhammad SAW bin A`bdillah As. , kepada
2. Imam Ibnu Umar ( Abdullah bin Umar bin Khatab Ra. )
3. Imam Nafi` bin Hurmuz  tabi` Ibnu Umar
4. Imam Malik bin Anas Ra.
5. Imam Syafi`i Ra.
6. Imam Ibrahim Al-Mazany
7. Imam Abu Sa`id Al-Ambathy
8. Imam Abu Abbas bin Syuraij
9. Imam Ibrahim Al-maruzy
10. Imam Abu Bakar Al-Qofal
11. Imam Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Al-Juwainy
12. Imam Haromain ( Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Al-Juwainy )
13. Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazaly
14. Syekh Muhammad bin Yahya
15. Syekh Ardabily
16. Imam Nawawi
17. Syekh Atha uddin Al-Athary
18. Syekh Abdur Rahim Al-Iraqy
19. Syekh Ibnu Hajar Al-Asqolany
20. Syekh Zakariya Al-Angshary
21. Syekh Ahmad bin Hazar Al-Haitamy
22. Syekh Zainuddin Al-Malibary
23. Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada
24.Syekh  Hasan Musthofa bin Utsman Mas Sastramanggala karang anyar Bandung Rhm.
25.Syekh Ahmad Syujaa`i Gudang Kota batik Tasik Malaya
26.Syekh Ahmad Syaathiby bin Sa`id Gentur warung kondang Cianjur

27.Syekh  Muhammad Syafi`i ( Mama Eyang Cijerah ) bin K.H.Muhammad Amin ( Eyang Pasantren )  bin Ta`zimuddin bin Zainal A`rif ( Eyang Agung Mahmud ) bin Asmaddin bin Shommaddin bin Eyang Dalem Bojong bin Syekh Abdul Muhyi Safarwadi Pamijahan Tasikmalaya Rhm.

Mama Cijerah belajar Thoriqoh Sattariyyah urutan ke - 4 dari  leluhurnya, yakni Syekh Abdul Muhyi Pamijahan Rhm. dan urutan ke- 27 dari Rasulallah Saw.  Yakni dengan uraian Sanad:

1. Nabi Muhammad SAW bin A`bdillah As. , kepada
2. Sayyidina A`li bin Abi Thalib Kwh. , kepada
3. Sayyidina Husain bin A`li bin Abi Thalib Ra. , kepada
4. Imam  A`li Al-Akbar Zainal A`bidin As-Sajaad bin Husain bin A`li bin Abi Thalib Ra., kepada
5. Imam Muhammad Baqir bin A`li Al-Akbar Zainal Abidin As-Sajaad Ra, kepada
6. Imam Ja’far Shoodiq bin Muhammad Baqir Ra., kepada
7. Imam Musa Al-Kaazhim bin Ja’far Shoodiq Ra., kepada
8. Imam Abul hasan A`li Ar-Ridho bin Musa Al-Kaazhim Ra., kepada
9. Syekh Abu Mahfudz Ma`ruf Fairuz Al-Karkhy Ra. , kepada
10. Syekh Abu Hasan Sary Ibnul Mughallas As-Saqathy Ra. , kepada
11. Syekh Abu Yazid Thayfur bin I`sa Al-Bisthamy Ra. , kepada
12. Syekh Muhammad Al-Maghriby Ra. , kepada
13. Syekh Abu Yazid Al-I`syqy Ra. , kepada
14. Syekh Abu Maulana Rumi Ath-Thusy Ra. , kepada
15. Syekh Abul Hasan A`li Al-Kharqaany Ra. , kepada
16. Syekh Hud Qaliyyu Malurin Nahar, kepada
17. Syekh Muhammad Asyiqy, kepada
18. Syekh Muhammad A`rif, kepada
19. Syekh Abdullah Asy-Syattariyyah, kepada
20. Syekh Hadiyatullah Saramta, kepada
21. Syekh al-Haj al-Hudhury, kepada
22. Syekh Muhammad Ghauts bin Hataradiny Ra. , kepada
23. Syekh Wajhuddin Uluwy Ra., kepada
24. Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada
25. Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, kepada
26. Syekh Ahmad bin Muhammad Qishas Ra. , kepada
27. Syekh Abdul Rauf  bin A`li Al-Fansury Singkel, kepada
28. Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada
29.Syekh  Hasan Musthofa bin Utsman Mas Sastramanggala karang anyar Bandung Rhm.
30.Syekh Ahmad Syujaa`i Gudang Kota batik Tasik Malaya
31.Syekh Ahmad Syaathiby bin Sa`id Gentur Cianjur
32.Syekh  Muhammad Syafi`i bin K.H.Muhammad Amin ( Eyang Pasantren ) bin Ta`zimuddin bin Zainal A`rif ( Eyang Agung Mahmud ) bin Asmaddin bin Shommaddin bin Eyang Dalem Bojong bin Syekh Abdul Muhyi Safarwadi Pamijahan Tasikmalaya Rhm.


Keterangan ini asli bersumber dari  muridnya mama cijerah yakni Al-Marhum K.H.Muhammad Thaha ( Mama Sindang sari ) bin K.H. Muhammad Shawi ( Mama Ujung berung ) Rhm. Semoga Semua para guru kami ada dalam Rahmat dan kasih sayang Allah Swt.....Aaaaaamiiiin.

NARA SUMBER : KANG H.MUHAMMAD ABY SUFYAN



advertising area:


klik detailnya:
OTAJI (Oseng Tuna Asap Jeng Intan)











Share:

STAND PERTAMA CHOCOBHONK ALHAS

STAND PERTAMA CHOCOBHONK ALHAS
Memperkenalkan hasil karyanya kepada para orangtua santri

TAKOKAK-KOKI, Sekitar awal bulan April 2017 beberapa waktu yang lalu, dalam acara Rapat Orangtua Santri dengan pihak Yayasan Al Hasanah, yang berlokasi di Pondok Pesantren Al Hasanah, Kp. Cipancur, Ds.Sindanghayu, Kec.Takokak-CJR, dengan rasa bangga memperkenalkan hasil karyanya kepada para orangtua santri berupa Chocobhonk Alhas dengan membuat stand pertama khusus yang menjajakan chocobhonk, yaitu berupa makanan ringan berbahan utama cokelat dengan variant isi tengteng.

Alhamdulillah, sambutan para orangtua santri sangat baik dan setelah rapat usai, mereka membeli beberapa bungkus chocobhonk untuk di bawa pulang sebagai oleh-oleh pondok pesantren. Meski pada awalnya para santriwati yang baru pertama kali nya menjaga stand merasa gerogi tapi berkat dukungan dari beberapa guru wanita di pontren tersebut, akhirnya semangat untuk mempromosikan dan menjual hasil karyanya membuahkan hasil yang cukup memuaskan.

Melihat sebuah peluang sebagai salahsatu memasarkan produk chocobhonk, ke depannya apabila diadakan acara-acara khusus yang dilakukan oleh pondok pesantren Al Hasanah beserta santrinya maka akan selalu membuka stand khusus bagi para santri yang akan menjajakan hasil karyanya, baik pada saat liburan semester atau pada saat acara menghadapi kenaikan kelas. Sehingga, produk-produk yang dihasilkan oleh para santri pontren Al Hasanah ini akan semakin dikenal dan diterima oleh masyarakat luas. (rjf)



Share:

Labels

ᮊᮧᮊᮤ ᮎᮒ᮪ ᮛᮥᮙ᮪

ᮖᮗᮧᮛᮤᮒ᮪ ᮕᮧᮞ᮪

KALIGRAFI "BISMILLAH" (HITAM PUTIH)

ᮞ᮪.ᮃ.ᮞ᮪.ᮎ᮪. ᮃᮓ᮪ᮞ᮪

ᮞ᮪.ᮃ.ᮞ᮪.ᮎ᮪. ᮃᮓ᮪ᮞ᮪

ᮊᮧᮔ᮪ᮒᮢᮤᮘᮥᮒᮧᮁ

 
close
| NGAOS | MAMAOS | MAENPO |